30 December 2008

mBah Sastrowiryo, Sang Perkasa

Kasih Ibu... kepada beta...
tak terhingga sepanjang masa
hanya memberi... tak harap kembali...
bagai sang surya menyinari dunia


Tak banyak yang bisa kuceritakan disini.. Sedikit sekali data yang akurat, tentang beliau. Setahuku menurut para tetua kampung (dusun Kembar, desa Tegalrejo, kecamatan Banyu Urip, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah) beliau sudah berumur 100 tahun..!!

Umur 12 tahun telah menjalani kehidupan suami-isteri.. (jadi inget Syeh Pudji..he..he..he..), kemudian diboyong ke Sumatera (entah Sumatera bagian mana..) pada usia remaja. Beliau sepertinya menikmati masa remaja yang ceria, terbukti, mBah Sastro (begitu kami menyapa beliau..) lebih menguasai joged serampang duabelas daripada sendratari Jawa.

Menjalani kehidupan dengan berganti-ganti suami, suami pertama meninggal (tak ada khabar..), suami kedua juga meninggal (tanpa ada anak..), suami ketiga (Wagimin Sastrowiryo, masih keturunan Paku Alam V) menurunkan empat anak; Haji Mangudi Setiono (pak haji "Terowongan Minna"; one of the survivors), Soewardi (mantan kepala kantor wilayah tata kota, sekarang petani), FX Sri Waluyo Djati (bapakku tercinta, berjuta kasih telah dilimpahkannya kepada kami sekeluarga), dan Jatim Sujoto (sering kami sapa mBah Ragil).
Suami terakhir/keempat, pun tanpa anak. (mBah kakung Sastrowiryo meninggal jaman perang "Janur Kuning")

Masa jajahan Belanda, masa pendudukan Jepang, masa awal Republik Indonesia tercinta, hingga masa kini, tak menyurutkan semangat juang beliau. Meski harus mengais gabah sisa panenan, hidup dari belas kasihan saudara dan tetangga, tak juga mematikan semangat tempurnya. Trengginas dan perkasa.

Setiap tetes air mata beliau adalah syukur pada Sang Kuasa semata. Kehilangan suami-suami tercinta (maaf, beliau tidak menjalankan praktek polyandri..!!) hingga kematian anak lelakinya (bapakku tersayang) selalu melampiaskan syukur pada Sang Pencipta.


"Inyong kudu bali nang omah, ora bisa suwi-suwi nang kéné. Mengko ora ana wong sing makani pithik." Begitu selalu jawaban beliau bila para saudara mengajak beliau untuk home-stay. Satu bentuk kesetiaan yang beliau tampilkan, sebagaimana dulu, mBah Sastro memintaku untuk menuliskan Surat Yasin kedalam aksara Jawa Ho-No-Co-Ro-Ko.
"Inyong ora bisa maca Arab. Tulisken waé cara Jawané, mén gampang dongané."

mBah Sastro, Souvenir dari abad 20..!!

[tulisan ini telah dipublikasikan pada Hari Ibu 2008]

No comments:

Post a Comment