24 December 2008

ARROGANT

Kenapa pula kata “arogan” sampai ada di kamus?
Bukankah kata itu berkonotasi negatif?
Seandainya ku mampu mengubah dunia, sudah pasti kata itu akan kuhapus. Dari kamus, dari pembicaraan-pembicaraan tingakt internasional hingga rumah tangga, dari benak setiap orang.

Terkadang tanpa disadari, seseorang telah berlaku arogan terhadap sesamanya. Sudah pasti melukai perasaan si korban yang bingung, tanpa sebab ter-zolim-i (kok jadi mirip-mirip Musollini?). Tak ada takaran yang pasti, batas ke-arogan-an sesorang. Yang bisa merasakan sudah pasti hanya lingkungan sekitarnya, dan tentu saja batasan etika yang berlaku dalam kultur tertentu.

Ketika sang Raja "mendongakkan" (spoiler alert: awas permainan kata!) kepala, sambil melirik sinis ke arah rakyat jelata, bagi warga pendatang dan orang bukan penduduk kerajaan berarti Raja yang arogan. Lain halnya pendapat para hamba sahaya dan kaum sudra, perbuatan itu hanyalah "menengadahkan" kepala, suatu hak yang dimiliki Raja, sebuah pernyataan status.

Bagaimana bila yang "menengadahkan" kepala itu pejabat atau pimpinan atau komandan atau ketua suatu struktur kelembagaan? Masih adakah yang menganggap perbuatan tersebut sebagai "hak"? Sebuah pernyataan status?

Betapa JRR Tolkien memutar balikkan kata "you-know-what" menjadi karakter yang penuh kerendahan hati. Aragorn. The King or Gondor, the heir of Isildur, the Narsil bearer. Lord of the Ring (bukan RingLord - Pen.) memberikan pelajaran yang sangat gamblang, Good versus Evil. Menjadikan karakter Aragorn sesosok "makhluk sempurna". Menjalani panggilannya sebagai ranger dengan identitas Strider, sosok terendah di kasta ksatria, hingga menjadi King of Gondor, hak asasinya.

Kenapa pula kata “arogan” sampai ada di kamus? Sudah pasti bukan kerjaan JRR Tolkien, karena beliau bergabung sebagai tim penyusun kamus di Oxford University Press ketika telah sampai huruf W.
Mungkin memang nama itu yang dipilih sebagai penyeimbang sebuah arogansi kekuasaan.

I wish my name is Aragorn.

No comments:

Post a Comment